Ceaster Forum
Selamat Datang di Forum Ceaster
Bahas apa aja di sini sesuai forum !
Dapatkan Banyak Info,Ilmu,Berita di Sini !
AYO BURUAN DAFTAR ADA EVENT BERHADIAH BAGI PENDAFTAR !
Daftarnya mudah Tinggal Masukin data !

Derita di Tengah Proyek Migas yang Melimpah Ruah di Rengel Tuban Jawa Timur Login_button1Derita di Tengah Proyek Migas yang Melimpah Ruah di Rengel Tuban Jawa Timur Register_buttonDerita di Tengah Proyek Migas yang Melimpah Ruah di Rengel Tuban Jawa Timur Button-fb-loginDerita di Tengah Proyek Migas yang Melimpah Ruah di Rengel Tuban Jawa Timur Connect-facebook-button


Join the forum, it's quick and easy

Ceaster Forum
Selamat Datang di Forum Ceaster
Bahas apa aja di sini sesuai forum !
Dapatkan Banyak Info,Ilmu,Berita di Sini !
AYO BURUAN DAFTAR ADA EVENT BERHADIAH BAGI PENDAFTAR !
Daftarnya mudah Tinggal Masukin data !

Derita di Tengah Proyek Migas yang Melimpah Ruah di Rengel Tuban Jawa Timur Login_button1Derita di Tengah Proyek Migas yang Melimpah Ruah di Rengel Tuban Jawa Timur Register_buttonDerita di Tengah Proyek Migas yang Melimpah Ruah di Rengel Tuban Jawa Timur Button-fb-loginDerita di Tengah Proyek Migas yang Melimpah Ruah di Rengel Tuban Jawa Timur Connect-facebook-button
Ceaster Forum
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Ceaster Forum

Forum Pengetahuan Informasi dan Jual Beli Terlengkap di Indonesia


You are not connected. Please login or register

Derita di Tengah Proyek Migas yang Melimpah Ruah di Rengel Tuban Jawa Timur

Go down  Message [Halaman 1 dari 1]

avatar

[You must be registered and logged in to see this image.]
[b style="margin: 0px; padding: 0px; font-weight: 700;"]“Sebuah kisah nyata keluarga miskin yang hidup ditengah-tengah proyek MIGAS”[/b]
Di sebelah utara proyek migas JOB-Petrochina Mudi sekitar 400an meter, tepatnya desa Rahayu Kecamatan Soko, Kabupaten Tuban, hiduplah sebuah keluarga miskin selama bertahun-tahun. Keluarga itu hidup jauh sebelum perusahaan-perusahaan Migas beroperasi di daerah tempat tinggalnya.
Jami’in (50), beserta istri Lamisah (45) harus rela membanting tulang untuk menghidupi kebutuhan keluarga dan 3 orang anaknya yang masih kecil. Sebagai seorang kepala keluarga yang berprofesi sebagai buruh tani, ia harus memeras keringatnya setiap hari demi mencari sesuap nasi, terkadang ia bekerja di rumah orang kaya di desanya Rahayu, dan terkadang ketika tidak ada kerjaan di desanya, mau tidak mau ia harus menjadi buruh tani dan mengail becak di kota.
“untuk menghidupi keluarga ya cari ‘buruhan’ di sekitar sini mas, kalau ndak ada ya ‘mbecak’ di kota” ungkapnya
Begitupun dengan istrinya Lamisah (45), diusia yang cukup renta ia tak mampu lagi bekerja kasar layaknya wanita desa. Ia akhirnya mempunyai inisiatif untuk menjadi buruh di pengusaha kepang. Setiap hari ia harus menyelesaikan rajutan-rajutan “kepangan” dari bambu milik pengusaha. Walaupun demikian, hasil kerja nya tidaklah cukup untuk menghidupi 3 orang anak yang masih tinggal bersamanya. Ditambah lagi dengan mahalnya bahan makanan dan kayu bakar untuk memasak sehari-hari.
“kerja nya ya kayak gini mas, ngrajut ‘besek’/'kepangan’, itupun hasilnya gak ‘sumbut’ kalau digunakan keperluan sehari-hari” ungkap ibu tiga anak ini.
Muslikin (22), sebagai anak pertama tentu memahami betapa susah dan parahnya kehidupan ekonomi keluarganya. Jangankan untuk sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, untuk makan dan memenuhi kebutuhan sehari-hari saja tidaklah cukup. Akhirnya ia putus sekolah, ia dan keluarganya tak mampu lagi membiayai biaya sekolah yang mahal. Semenjak SMP itulah, ia mulai berhadapan dengan kerasnya dunia kerja. Di antara teman-temannya yang asyik bisa menikmati pendidikan sampai tingkat menegah, ia hanya memiliki harapan kosong. Membanting tulang untuk membantu ke-dua orangtuanya untuk mencukupi kebutuhan keluarga dan menyekolahkan ke dua adiknya.
“gak ada biaya mas untuk sekolah, jadi ya kerja bantu-bantu Bpk dan Ibu” tandasnya kepada penulis.
Sepiana Nur A (10), bocah imut yang masih duduk di bangku SD dan Nur Arianti(6), yang masih duduk di bangku TK, keduanya merupakan adik dari Muslikin (22). Tatapan wajahnya yang masih polos, belum terbesit tingkah polah kakak dan ke dua orangtuanya untuk menghidupi keluarga. Namun pola pikir tak bisa dibendung, seiring dengan bertambah usia dan pengetahuannya, anak sekecil itu janganlah sampai bernasib seperti kakaknya yang putus sekolah karena tak ada biaya dan membantu kedua orangtuanya untuk mencari nafkah.
[b style="margin: 0px; padding: 0px; font-weight: 700;"]Pernahkah terbesit dalam benak kita…[/b]
Mengapa ini bisa terjadi di daerah dengan dana CSR (Corporate Social Responsibility) terbesar yakni Rp694.000.000,00/tahun (Dokumen FITRA, Dana CSR yang diterima Ring satu tahun 2011)
Dimana “nurani” perusahaan dalam hal ini (JOB-Petrochina) yang telah beroperasi selama berpuluh-puluh tahun di daerah tersebut.. Bukankah mereka telah mengeruk jutaan barel minyak di ladang rakyat pribumi?
[b style="margin: 0px; padding: 0px; font-weight: 700;"]Jika melihat fenomena ini, siapa yang harus bertanggung jawab terhadap ini semua…[/b]
Dimanakah implementasi dan pengamalan Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2012 yang merupakan amanat langsung dari UU No. 40 th 2007. Bukankah telah tertuang jelas amanah dan tanggung jawab perusahaan terhadap kondisi lingkungan dan sosial masyarakat sekitar,,? ataukah ini hanya sebuah wacana, bak angin lalu…
Padahal ketika ada dampak dan limbah perusahaan, warga Ring I yang terkena imbas secara langsung. Sebagai contoh misalnya, diakui atau tidak penyebab panasnya daerah sekitar JOB-Petrochina adalah karena imbas dari pengelolaan Flare oleh perusahaan. Zaman dulu sebelum perusahaan datang dan beroperasi, lingkungan sekitar masih tampak sejuk dan asri, tidak seperti sekarang yang panas, apalagi musim kemarau telah tiba. Belum lagi suara bising yang disebabkan oleh mesin compressor perusahaan yang sangat mengganggu, seakan membuat telinga menjadi buntu. Siapa yang sabar & kuat menahan suara begitu besarnya dalam waktu 24 jam nonstop selama bertahun-tahun.
Paling tidak dari fenomena ini, perusahaan dapat mengambil langkah-langkah kebijakan strategis untuk mengentas dan menanggulangi kasus yang serupa agar tidak marak dan semakin bertambah banyak. Langkah-langkah tersebut antara lain:
Pertama, perusahaan sebisa mungkin melakukan kontrol secara langsung ke bawah terhadap dana yang diberikan kepada pemangku jabatan di wilayah desa. Perusahaan dalam hal ini memastikan, apakah dana yang diberikan benar-benar telah tepat sasaran, atau malah “nyasar”.
Kedua, perusahaan setidaknya membuat kebijakan yakni pendampingan kepada komite desa terdampak (Ring I) untuk mengelola dan mengatur dana CSR agar sesuai dengan amanat undang-undang. Hal ini dilakukan untuk menjamin bahwa pihak perusahaan dan pihak desa (komite) dapat menggunakan keseluruhan dana tersebut dengan baik dan benar.
Ketiga, perusahaan dapat melakukan realokasi jumlah anggaran dana pada masing-masing pos anggaran. Anggaran yang kurang dibutuhkan pada satu sektor misalnya, dapat dialokasikan ke sektor lainnya. Misalnya dana untuk sektor pembangunan infrastruktur dalam hal ini Desa Rahayu sebesar Rp 400.000.000,-/tahun dapat dipotong 60% menjadi Rp 160.000.000,- dan ditambahkan ke sektor pemberdayaan ekonomi yang dulunya Rp 75.000.000,-/tahun menjadi Rp 315.000.000,-/tahun. Ini jauh lebih efektif dan bernilai guna untuk kondisi saat ini. Begitu juga untuk sektor-sektor lainnya. Artinya jumlah alokasi dana disetiap sektor atau pos tersebut bersifat fluktuatif sesuai dengan tingkat kebutuhan warga masyarakat pada saat itu. Bisa jadi dana alokasi untuk pos/sektor ekonomi pada tahun ini lebih besar daripada sektor/pos lainnya, atau berlaku sebaliknya untuk tahun-tahun selanjutnya. Sehingga sangat dibutuhkan peran perusahaan untuk bertindak pro aktif dan concern terhadap masalah ini.
Keempat, perusahaan dapat melakukan renumerasi jumlah dana CSR. Kebijakan ini tentu dilakukan berdasarkan survei dilapangan. Bisa jadi terjadi penambahan atau pengurangan dana CSR, sesuai dengan kebutuhan masyarakat sekitar. Seperti halnya di tahun 2011, dana CSR JOB-PPEJ di kabupaten Tuban naik dari Rp 4.528.624.072,- menjadi Rp 7.297.717.000,- (File Materi Grub Discussion CSR Migas Tuban, 2012).
Akhirnya, semoga empat hal tersebut menjadi pertimbangan perusahaan dan secuil kisah keluarga Bpk Jami’in tersebut menjadi perhatian kita semua termasuk Perusahaan yang beroperasi di desanya. Yang jelas sebagai warga yang merasa prihatin dan peduli dengan fenomena ini, tidak boleh diam dan harus kritis serta solutif. Menyampaikan kondisi yang terjadi di lapangan dengan apa adanya, tanpa tendensi dan iming-iming suatu apapun. Karena ini menyangkut hak rakyat yang “tertindas” di tengah proyek migas yang melimpah ruah.

Kembali Ke Atas  Message [Halaman 1 dari 1]

Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik