Sebagai promotor event Java Jazz Production, Dewi Gontha paham benar pentingnya sponsor untuk mendukung konser. Java Jazz saat ini selain menjadi event music jazz terbesar di Asia, juga menjadi magnet bagi wisatawan luar negeri untuk datang ke Indonesia.
Terbitnya Peraturan Pemerintah No. 109 tahun 2012, tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan membuat Dewi gelisah. Pasalahnya selama ini Java Jazz memang didukung oleh produk olahan tembakau.
Dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan di Rolling Stone Cafe, Kemang, 24 April 2013 lalu, para pelaku industri musik menyampaikan pandangannya terkait pasal-pasal dalam PP 109 Tahun2012 tentang pelarangan sponsorhip dari perusahaan rokok, yang akan berdampak pada sektor mereka. Dewi Gontha mengatakan bahwa pada tahun 2014 nanti, pihaknya belum mendapatkan persetujuan sponsorship dari perusaha rokok, mengingat PP tersebut akan berlaku efektif pada tahun 2014.
"Tahun ini penyelenggaraan Java Jazz memang mendapatkan dukungan yang sangat besar dari industri rokok. 40% kebutuhan dana penyelenggaraan acara tersebut disupport dari industri rokok, dan selebihnya ditutup oleh sponsor lain. Dan dana dari pihak sponsor tersebut juga kami gunakan untuk mensubsidi para pengunjung. Sehingga pengunjung dapat menjangkau harga tiket dan mendapatkan hiburan yang berkualitas internasional," ungkap Dewi.
Dewi menyebut, konser-konser internasional selama ini secara langsung atau tidak telah menjadi alternatif promosi Indonesia ke dunia internasional. Paling tidak, para bintang yang datang akhirnya bisa melihat fakta Indonesia bukan melulu teroris, bencana, dan korupsi.
Mestinya, lanjut Dewi, pemerintah mendukung acara-acara semacam ini, bukan malah mengeluarkan aturan-aturan yang membatasinya. "Pemerintah mendukung kami, tapi tidak sebanding," katanya.
Hal serupa juga disampaikan oleh Log Zhelebour, promotor yang selama ini dikenal dengan suguhan music-musik rock. "Harusnya pemerintah kalau mau buat peraturan ya buat yang adil. Jangan membunuh seperti ini. Kalau kita baca dalam peraturan tersebut, akan sangat aneh. Misalnya di pasal 38, tidak boleh memberikan sponsor dengan menampilkan brand produknya. Ini kan aneh. Mana mau ada perusahaan mau memberikan sponsor kalau brand produknya tidak diperlihatkan. Ini kan membunuh industri musik di Indonesia," paparnya.
Java Jazz melibatkan 8000 orang lebih, mulai dari produksi sampai dengan pelaksanaan acara. Dan jika sponsorship dari perusahaan rokok dilarang, maka akan memiliki imbas yang besar pula bagi 8000 orang yang terlibat dalam pagelaran selama 3 hari tersebut. Begitu pula dengan pagelaran-pagelaran music serupa yang diselenggarakan diberbagai daerah yang juga banyak didukung oleh industri rokok. "Bukan hanya EO yang besar saja yang akan mati, tapi juga EO yang kecil yang tersebar didaerah-daerah juga akan mati jika peraturan ini diberlakukan," ungkap Log Zhelebour. (kpl/hen/uji/faj)
Sumber : Kapanlagi.com
Terbitnya Peraturan Pemerintah No. 109 tahun 2012, tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan membuat Dewi gelisah. Pasalahnya selama ini Java Jazz memang didukung oleh produk olahan tembakau.
Dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan di Rolling Stone Cafe, Kemang, 24 April 2013 lalu, para pelaku industri musik menyampaikan pandangannya terkait pasal-pasal dalam PP 109 Tahun2012 tentang pelarangan sponsorhip dari perusahaan rokok, yang akan berdampak pada sektor mereka. Dewi Gontha mengatakan bahwa pada tahun 2014 nanti, pihaknya belum mendapatkan persetujuan sponsorship dari perusaha rokok, mengingat PP tersebut akan berlaku efektif pada tahun 2014.
"Tahun ini penyelenggaraan Java Jazz memang mendapatkan dukungan yang sangat besar dari industri rokok. 40% kebutuhan dana penyelenggaraan acara tersebut disupport dari industri rokok, dan selebihnya ditutup oleh sponsor lain. Dan dana dari pihak sponsor tersebut juga kami gunakan untuk mensubsidi para pengunjung. Sehingga pengunjung dapat menjangkau harga tiket dan mendapatkan hiburan yang berkualitas internasional," ungkap Dewi.
Dewi menyebut, konser-konser internasional selama ini secara langsung atau tidak telah menjadi alternatif promosi Indonesia ke dunia internasional. Paling tidak, para bintang yang datang akhirnya bisa melihat fakta Indonesia bukan melulu teroris, bencana, dan korupsi.
Mestinya, lanjut Dewi, pemerintah mendukung acara-acara semacam ini, bukan malah mengeluarkan aturan-aturan yang membatasinya. "Pemerintah mendukung kami, tapi tidak sebanding," katanya.
Hal serupa juga disampaikan oleh Log Zhelebour, promotor yang selama ini dikenal dengan suguhan music-musik rock. "Harusnya pemerintah kalau mau buat peraturan ya buat yang adil. Jangan membunuh seperti ini. Kalau kita baca dalam peraturan tersebut, akan sangat aneh. Misalnya di pasal 38, tidak boleh memberikan sponsor dengan menampilkan brand produknya. Ini kan aneh. Mana mau ada perusahaan mau memberikan sponsor kalau brand produknya tidak diperlihatkan. Ini kan membunuh industri musik di Indonesia," paparnya.
Java Jazz melibatkan 8000 orang lebih, mulai dari produksi sampai dengan pelaksanaan acara. Dan jika sponsorship dari perusahaan rokok dilarang, maka akan memiliki imbas yang besar pula bagi 8000 orang yang terlibat dalam pagelaran selama 3 hari tersebut. Begitu pula dengan pagelaran-pagelaran music serupa yang diselenggarakan diberbagai daerah yang juga banyak didukung oleh industri rokok. "Bukan hanya EO yang besar saja yang akan mati, tapi juga EO yang kecil yang tersebar didaerah-daerah juga akan mati jika peraturan ini diberlakukan," ungkap Log Zhelebour. (kpl/hen/uji/faj)
Sumber : Kapanlagi.com