Berita Fakta Bojonegoro - Wow.. Tujuh Turunan Jualan Cincau
Jum'at, 26 Juli 2013 10:25:39 WIB
Reporter : Tulus Adarrma
Bojonegoro (beritajatim.com) - Sebagai penghargaan terhadap warisan keluarga, Mursidi (58) sudah 34 tahun menjadi seorang pembuat serta penjual cincau. Ia merupakan keturunan kelima dari keluarganya.
Sedangkan saat ini ia sudah menurunkan bakat keluarganya yang turun temurun itu ke generasi ke tujuh. "Saya sebagai generasi kelima inginnya selalu mempertahankan warisan keluarga sebagai penjual cincau," ujar Mursidi, Kamis (25/07/2013).
Bahkan Mursidi menegaskan akan melestarikan peninggalan orang tuanya itu hingga anak cucunya nanti. Pria yang mempunyai empat anak itu kini sudah mewarisi keahlian keluarganya kepada dua anaknya. Ia memiliki ciri khas lain, yakni memiliki rambut gondrong.
"Jadi sebagai generasi penerus saya selanjutnya juga harus gondrong," terangnya.
Pria yang merupakan Istri dari Siti Rahayu (57) menceritakan, jika keluarga yang mewarisi pertama juga berambut gondrong. Yakni mulai dari Umar (Kakek), Marjuki (Bapak), Siti Sapaah (Ibu), Sumini (Kakak), dan ia sendiri Mursidi, Adiknya, Supyan dan anak keduanya Wiwid Dyano saat ini juga memiliki rambut gondrong.
Minuman yang berbahan dasar merang dan bunga janggilan itu memang menjadi incaran hampir sebagian warga untuk berbuka puasa. Selain untuk berbuka jika tidak pada bulan ramadan juga banyak dicari orang untuk pelepas dahaga. "Kalau bulan ramadan seperti saat ini memang lebih cepat habis," ucapnya.
Wiwid sebagai turunan ketujuh masih membuat cincau di rumah orang tuanya. Selanjutnya jika cincau sudah siap jual biasanya ia pakai grobak dan menjual es cincau itu di Jalan Teuku Umar, sedangkan ayahnya menjualnya di jalan Dr. Suharso, depan toko buku nusantara.
"Kalau puasa 500 bungkus dua jam sudah habis," ujar Wiwid sembari meracik adonan santan yang nantinya digunakan untuk es.
Meskipun hampir sebagian bahan dasar sekarang mengalami kenaikan harga, hanya dengan meroceh kantong Rp2.500 maka akan mendapatkan cincau satu gelas yang sudah mampu menyiram tenggorokan yang kering. Ia mulai membuka lapak sekitar pukul 15.30 - 17.30 WIB.
Sedangkan untuk mencari rumah keluarga pembuat cincau itu cukup sulit meskipun berada di Kelurahan Mojokampung, Kecamatan Kota Bojonegoro. Karena harus masuk gang sempit. Namun, karena sudah terkenalnya dia tak jarang warga setempat mengetahui rumah sederhana untuk memproduksi cincau tersebut. [uuk/but]
[You must be registered and logged in to see this image.] |
Jum'at, 26 Juli 2013 10:25:39 WIB
Reporter : Tulus Adarrma
Bojonegoro (beritajatim.com) - Sebagai penghargaan terhadap warisan keluarga, Mursidi (58) sudah 34 tahun menjadi seorang pembuat serta penjual cincau. Ia merupakan keturunan kelima dari keluarganya.
Sedangkan saat ini ia sudah menurunkan bakat keluarganya yang turun temurun itu ke generasi ke tujuh. "Saya sebagai generasi kelima inginnya selalu mempertahankan warisan keluarga sebagai penjual cincau," ujar Mursidi, Kamis (25/07/2013).
Bahkan Mursidi menegaskan akan melestarikan peninggalan orang tuanya itu hingga anak cucunya nanti. Pria yang mempunyai empat anak itu kini sudah mewarisi keahlian keluarganya kepada dua anaknya. Ia memiliki ciri khas lain, yakni memiliki rambut gondrong.
"Jadi sebagai generasi penerus saya selanjutnya juga harus gondrong," terangnya.
Pria yang merupakan Istri dari Siti Rahayu (57) menceritakan, jika keluarga yang mewarisi pertama juga berambut gondrong. Yakni mulai dari Umar (Kakek), Marjuki (Bapak), Siti Sapaah (Ibu), Sumini (Kakak), dan ia sendiri Mursidi, Adiknya, Supyan dan anak keduanya Wiwid Dyano saat ini juga memiliki rambut gondrong.
Minuman yang berbahan dasar merang dan bunga janggilan itu memang menjadi incaran hampir sebagian warga untuk berbuka puasa. Selain untuk berbuka jika tidak pada bulan ramadan juga banyak dicari orang untuk pelepas dahaga. "Kalau bulan ramadan seperti saat ini memang lebih cepat habis," ucapnya.
Wiwid sebagai turunan ketujuh masih membuat cincau di rumah orang tuanya. Selanjutnya jika cincau sudah siap jual biasanya ia pakai grobak dan menjual es cincau itu di Jalan Teuku Umar, sedangkan ayahnya menjualnya di jalan Dr. Suharso, depan toko buku nusantara.
"Kalau puasa 500 bungkus dua jam sudah habis," ujar Wiwid sembari meracik adonan santan yang nantinya digunakan untuk es.
Meskipun hampir sebagian bahan dasar sekarang mengalami kenaikan harga, hanya dengan meroceh kantong Rp2.500 maka akan mendapatkan cincau satu gelas yang sudah mampu menyiram tenggorokan yang kering. Ia mulai membuka lapak sekitar pukul 15.30 - 17.30 WIB.
Sedangkan untuk mencari rumah keluarga pembuat cincau itu cukup sulit meskipun berada di Kelurahan Mojokampung, Kecamatan Kota Bojonegoro. Karena harus masuk gang sempit. Namun, karena sudah terkenalnya dia tak jarang warga setempat mengetahui rumah sederhana untuk memproduksi cincau tersebut. [uuk/but]